Pembangunan manusia seutuhnya adalah peningkatan kualitas hidup tiap-tiap orang baik dari segi jasmani maupun rohani. Pembinaan di bidang rohani adalah tugas para pelayan gereja, guru agama dan para hamba Tuhan yang melayani dengan sepenuh waktu. Untuk menghasilkan jemaat yang berkualitas diperlukan pembinaan yang berkualitas pula dengan kata lain pembina harus mempunyai kemampuan yang baik dalam pembinaan jemaat. Usaha membentuk seorang pelayan gereja yang berkualitas sudah jelas yaitu melalui sebuah wadah pendidikan teologi. Dibukanya pendidikan tinggi teologi akan melahirkan teolog-teolog yang nantinya akan menjadi gembala bagi jemaat, serta melahirkan guru-guru agama yang akan melakukan pembinaan pendidikan agama baik di sekolah-sekolah maupun di gereja, juga utusan-utusan Injil, misionary yang akan pergi ke berbagai tempat untuk memberitakan Injil, serta tenaga-tenaga pelayan gereja lainnya yang profesional di dalam bidang pelayanan masing-masing.
Pada masa kini kesadaran jemaat akan perlunya pendidikan juga semakin meningkat. Banyak anggota jemaat yang sudah mencapai tingkat akademis sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini perlu diimbangi dengan tersedianya pelayan Tuhan dengan tingkat pendidikan yang memadai, yaitu telah menyelesaikan pendidikan di sekolah tinggi teologi bukan sekedar sekolah Alkitab singkat.
Banyak persoalan yang muncul dalam pelayanan di gereja, misi, pendidikan dan bidang pelayanan lainnya. Sebagai contoh mengenai pelayanan anak yaitu pembinaan kerohanian untuk anak sekolah minggu, pembinaan remaja dan pemuda sering kali kurang diperhatikan. Biasanya pendeta hanya fokus kepada pelayanan secara umum sedangkan pelayanan anak, remaja dan pemuda kurang dapat dilayani dengan baik apalagi jika jumlah anggota jemaatnya banyak. Untuk pembinaan anak, remaja, pemuda perlu dilayani secara khusus oleh seorang yang ahli dibidangnya.
Anak, remaja, pemuda tidak hanya belajar Pendidikan Agama Kristen di sekolah formal akan tetapi di gereja mereka juga perlu dibina tentang kebenaran Agama Kristen dalam konteks pergaulan dan kehidupan mereka. Dalam pelaksanaannya diperlukan metode, dan strategi pembelajaran yang kreatif sesuai dengan kebutuhannya. Bagaimana mereka dapat memperoleh Pendidikan Agama Kristen di Gereja jika tidak ada guru yang mengajar mereka? Bagaimana guru dapat mengajar kalau tidak ada sekolah tinggi yang melahirkannya?
Mengenai pelayanan anak, gereja-gereja yang ada di NTT juga masih membutuhkan banyak tenaga guru sekolah minggu. Keberadaan guru sekolah minggu yang dimaksudkan adalah yang sudah terlatih, mempunyai kreatifitas, mempunyai beban dan panggilan untuk melayani anak. Memang banyak dari kalangan jemaat yang terbeban dengan pelayanan anak akan tetapi tidak mempunyai ketrampilan yang cukup untuk mengajar di sekolah minggu, atau mengalami kebosanan sebab kurangnya kreatifitas dan ketrampilan untuk mengembangkan diri. Hal ini terjadi karena banyak guru sekolah minggu belum pernah mendapatkan pelatihan yang cukup memadai terutama dalam hal teknik pembimbingan dan pengajaran, serta bobot materi yang diajarkan.
Salah satu usaha untuk menjawab persoalan ini adalah dengan mendirikan Sekolah Tinggi Teologi (Plus), dengan Program Pendidikan Agama Kristen, Program Teologi Misi, dan Program Teologi Musik Gereja dengan disertai berbagai pelatihan pelayanan kreatif. Pendidikan Agama Kristen di perlukan bukan saja untuk menjawab kebutuhan guru-guru agama di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan SLTA yang ada di lapangan pelayanan, akan tetapi juga dapat melayani pembinaan rohani jemaat di gereja.
Persoalan lain misalnya adalah masalah Pembinaan Warga Gereja yang kurang mendapat perhatian. Pembinaan Warga Gereja memerlukan guru agama yang profesional, sebab banyak masyarakat NTT secara khusus jemaat yang belum mempunyai wawasan cukup dalam kehidupan kekristenannya. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan warga jemaat yang masih hidup secara duniawi dan keluar dari jalur kebenaran Firman Tuhan. Pemahaman terhadap iman Kristen dan pengetahuan Alkitab masih sangat terbatas, sehingga dosa dan perbuatan daging yang dilakukan adalah dalam ketidaktahuannya. Selain itu, begitu banyak adat dan budaya masyarakat yang masih berbau mistis dan berhubungan dengan penyembahan kepada berhala dan setan-setan, semua ini masih terjadi dikalangan jemaat dengan alasan sederhana karena mereka tidak mengerti. Sehingga peranan Pembinaan Warga Gereja oleh seorang guru agama atau pendeta dalam jemaat di NTT sangat diperlukan.
Pada masa sekarang ini kebutuhan pemain musik dan pemimpin pujian atau pemimpin liturgi (worship leader) dalam ibadah di gereja juga mempunyai persoalannya tersendiri, persoalan yang paling mendasar adalah kurangnya pemain musik dan pemimpin pujian gereja. Jika seorang pendeta atau guru agama sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi juga disertai dengan pelatihan musik dan worship leader, maka mereka akan mampu melatih jemaat yang berbakat untuk bermain musik dan pemimpin pujian dalam ibadah di gererja. Dengan demikian gereja mempunyai bibit-bibit baru pemain musik dan pemimpin pujian yang terampil. Pada masa mendatang gereja akan memiliki pendeta/gembala sidang yang terampil musik; dan atau gereja memiliki tenaga kategorial yang membantu pelayanan musik dan pemimpin pujian di Gereja, serta dapat membawahi departemen musik gereja.
Melihat persoalan diatas, berarti tidak cukup hanya dengan pengetahuan teologi saja, pendeta, misionary, guru Injil, para pelayan, guru agama harus diperlengkapi juga dengan ketrampilan dan kreatifitas dalam pelayanan, dimana hal ini sangat penting dalam pembinaan serta pemberdayaan jemaat. Sehingga Target STT yang didirikan adalah STT Plus, yaitu ada pelatihan-pelatihan ketrampilan praktis, pelatihan kreatifitas dalam pelayanan, pelatihan dalam mengajar sekolah minggu serta pelatihan musik gereja. Tak kalah pentingnya dalam STT juga harus ada pelatihan untuk menjadi seorang konselor yang terampil dan handal untuk menangani masalah kenakalan remaja/pemuda, drugs, penyimpangan seksual, masalah rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian yang semakin meningkat.
Rata-rata jemaat di NTT mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Dua pekerjaan ini dilakukan secara bersama-sama, dan dalam pelaksanaannya masih bersifat tradisional. Sebagai seorang pemimpin umat dan pendidik di sekolah-sekolah, pendeta dan guru agama harus memiliki ketrampilan yang tujuannya adalah peningkatan taraf hidup jemaat. Cara sederhana yang dilakukan adalah dengan cara mengadakan pembinaan dan pelatihan ketrampilan, termasuk pertanian dan peternakan. Untuk itu STT yang didirikan harus ada tambahan materi dan pelatihan ketrampilan.
STT Plus akan bermanfaat bagi para alumni sendiri, selain menjadi pendeta, guru agama, karyawan di yayasan dan lembaga kristen, pegawai negeri, dan yang lainnya, para alumni juga bisa memiliki wirausaha mandiri melalui ketrampilan yang ada. Sehingga apabila alumni terbeban dengan pelayanan misi perintisan di pedalaman atau melayani jemaat yang tidak bisa menanggung biaya penghidupannya, mereka dapat membiayai pelayanannya sendiri dengan jalan membuka usaha mandiri. Hal ini untuk mewujudkan pelayanan yang holistik, membentuk jemaat yang sehat jasmani dan rohani. Untuk itu dalam STT ini juga akan ditambahkan pelatihan-pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minat mahasiswa, misalnya pelatihan kerajinan tangan, tata boga, tata rias, menjahit, komputer, administrasi keuangan gereja, worship leader, teknisi elektronika dan komputer, sablon, pertanian peternakan dan lain-lain.
Kebutuhan pelayanan yang merupakan pelaksanaan amanat Agung Tuhan Yesus adalah Pekabaran Injil. STT harus mampu melahirkan seorang misionaris yang mau dan mampu diutus melayani ke daerah-daerah yang belum dijangkau oleh Injil, baik di pedalaman, pedesaan, maupun di perkotaan. Untuk melahirkan utusan-utusan Injil tidak bisa hanya dengan bekal ketrampilan dalam PI akan tetapi harus disertai dengan pembentukan karakter agar setia dan bertahan dalam pelayanan. Pemberitaan Injil dan perintisan gereja di daerah-daerah yang belum terjangkau memerlukan tenaga pelayan yang militan, kreatif dalam mengkomunikasikan Injil sesuai dengan konteks budaya masyarakat setempat. Persoalan yang seringkali menghambat PI adalah dukungan dana, akan tetapi karena di STT Plus ada pelatihan ketrampilan dan wira usaha, maka penginjil akan mampu membiayai hidupnya sendiri tanpa bergantung pada pihak lain. Keuntungan PI sambil membuka usaha adalah Injil lebih cepat diterima sebab penginjil secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar, dan masyarakat tidak ‘alergi’ sebab Injil disampaikan dalam konteks budaya setempat. Justru wira usaha yang dilakukan oleh penginjil adalah sarana PI atau bisa diistilahkan sebagai suatu jembatan komunikasi. Contoh konkrit seorang penginjil diutus di pedesaan, sambil membuka usaha terima jahitan, sambil menjadi penjahit juga memberitakan Injil, sambil berdagang memberitakan Injil, sambil bertani, beternak, atau membuka servis elektronika juga memberitakan Injil.
Poin yang tak kalah pentingnya sebagai dasar pendirian pendidikan tinggi teologi adalah banyaknya minat dari masyarakat untuk menempuh pendidikan teologi. Selama ini banyak anak yang sudah lulus SMA menempuh pendidikan teologi di luar pulau, dan sebagian besar ke Jawa, sehingga setelah lulus dari pendidikan teologi di Jawa jarang sekali yang mau kembali ke daerah untuk membangun NTT dan TTS pada khususnya. Keprihatinan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja akan tetapi harus disikapi dengan baik, yaitu dengan mendirikan sebuah pendidikan tinggi teologi.
Serangkaian persoalan dan pemikiran-pemikiran atau terobosan-terobosan inilah yang mendorong Yayasan Kasih Semula Indonesia untuk mendirikan Sekolah Tinggi Teologi Plus, dengan nama Sekolah Tinggi Teologi SOE (STT SOE). Harapan STT SOE adalah dapat melahirkan SDM berkualitas yang profesional di bidang pelayanannya, untuk pembangunan tubuh Kristus, Gereja, Pendidikan, Bangsa dan Negara. Melahirkan pelayan Tuhan yang berkarakter Kristus, rendah hati sebagai hamba Tuhan, memiliki kesucian hidup, berwawasan, profesional dalam pelayanan, dipenuhi dengan kuasa dan urapan Roh Kudus.